Penilaian Autentik: Melampaui Penilaian Tradisional
Penilaian adalah tahap akhir dari pembelajaran di kelas sekaligus mengukur sejauh mana siswa berhasil memahami mata pelajaran. Setiap kali suatu unit atau bab selesai, guru akan memberikan latihan dan memberikan penilaian. Kemudian tugas-tugas siswa yang dinilai ini diakumulasikan guru untuk penilaian pertengahan atau akhir semester. Masalahnya, sering kali tugas-tugas yang diberikan guru berbentuk pilihan ganda, menjodohkan, atau sekadar uraian singkat dan semacamnya. Sebagaimana kita ketahui bahwa sistem penilaian seperti itu tampaknya perlu dikaji ulang karena memiliki impilikasi yang merugikan siswa secara mental dan intelektual. Pengalaman lain di luar ujian di atas kertas itu tak dihadirkan di dalam sistem penilaian. Oleh karena itu, kita perlu mempertimbangkan bentuk penilaian autentik yang dapat menjembatani kekurangan pada model penilaian tradisional.
Penilaian autentik sebenarnya bukanlah hal baru dalam dunia pendidikan. Pada dekade 1990-an di Barat muncul ketidakpuasan kalangan akademis terhadap penilaian “tradisional” yang menitikberatkan pada hasil akhir dan seakan mengabaikan kemampuan dan keterampilan lain pada diri siswa. Penilaian tradisional ini tidak mengakomodasi siswa secara seutuhnya karena hanya satu bagian yang dijadikan penilaian akhir, yaitu pada saat ujian berlangsung di dalam rentang waktu dan hari yang sudah ditentukan sekolah. Karena itu, penilaian autentik menawarkan pendekatan yang lebih progresif dan menawarkan kesempatan bagi siswa untuk mengeksplorasi pengetahuannya secara lebih luas. Dengan kata lain, penilaian autentik lebih mendekatkan pada kehidupan yang riil dibanding penilaian tradisional yang menggunakan prosedur yang lebih ketat, mengandalkan hapalan, dan jauh dari kenyataan sehari-hari. Sementara itu, penilaian autentik menggunakan beragam kemampuan siswa seperti metakognitif, psikomotorik, afektif, oral, dan lain-lain.
Pada 8 Maret 2025, saya mengisi sesi lokakarya di Mentari Intercultural School Bintaro dengan tema “penilaian yang melampaui penilaian tradisional”. Lokakarya ini dihadiri para peserta dari beberapa sekolah negeri di Jakarta. Setelah berdiskusi dengan beberapa guru tentang topik penilaian, nyatanya di sekolah mereka kerap menggunakan penilaian berbasis tradisional. Sasaran penilaian ini mencakup formatif dan sumatif sehingga sebagian besar siswa memang sudah terbiasa dan mendarah daging dengan bentuk-bentuk soal tradisional. Meski sebagian besar peserta menyetujui bahwa penilaian autentik lebih baik, mengubah hal ini tidaklah mudah. Perlu dilakukan tindakan yang tidak sekadar hanya heroik dan holistik, tetapi juga menuntut agar guru lebih kreatif, bermental pembelajar, dan kontekstual.
Di sini saya tidak mengatakan bahwa penilaian tradisional harus “dihapus”, tetapi alangkah baiknya jika guru mempertimbangkan penggunaan penilaian alternatif yang dapat mewadahi kemajemukan siswa di kelas. Kemajemukan ini bersifat inklusif karena memandang setiap individu itu unik berdasarkan kriteria-kriteria yang membedakan mereka. Pendek kata, tidak etis jika mengukur semua siswa dan keterampilan hanya dengan satu atau dua aspek capaian pembelajaran. Apalagi penilaian ini memberikan batasan waktu yang ketat dan selesai dalam satu kali duduk. Faktor-faktor lain seperti berpikir kritis dan wawasan intelektual tidak mendapat tempat. Oleh karena itu, apakah kita akan selalu menilai siswa secara parsial?
Padahal, dampaknya kepada siswa sering mengkhawatirkan karena ujian dengan penilaian tradisional ini seperti kacamata kuda yang melihat hanya lurus ke depan dan tidak melihat ke kanan-kiri yang bisa diandaikan sebagai pikiran alternatif dari diri peserta didik. Perilaku homogen ini justru membuat siswa menjadi berpikir sempit dan tidak moderat.
Dalam lokakarya ini, saya mencoba mengajukan pertanyaan kepada para guru dengan pertanyaan: “Bagaimana penilaian tradisional seperti pilihan ganda, uraian singkat, dan menjodohkan tidak dapat mengukur kemampuan siswa secara holistik?” Jawaban mereka beragam. Di antaranya, penilaian tradisional tidak dapat memecahkan masalah secara kreatif, menimbulkan kecemasan dan siswa tidak berpikir maksimal, tidak menilai keterampilan kreativitas siswa, menilai hanya dalam waktu singkat dan tidak menyeluruh, tidak memungkinkan siswa mengekspresikan diri, hanya menekankan penilaian akhir daripada pemahaman konsep, ketergantungan pada nilai angka dan kurang memunculkan kemampuan soft skill, dan berpusat pada mengingat atau menghapal saja.
Melihat jawaban peserta seperti itu semakin menegaskan bahwa penilaian tradisional memang tidak dapat melihat siswa secara holistik karena penilaian ini hanya didasarkan pada jawabaan benar-salah. Hal ini menjadikan siswa melihat sesuatu atas dasar hitam dan putih. Padahal siswa memerlukan perspektif, interpretasi, dan evaluasi dalam proses belajar dan ujian. Pengebirian ini menyempitkan ruang-ruang pengetahuan dan keunikan yang dimiliki setiap peserta didik. Dengan demikian, beberapa kali pun kurikulum diganti, tetapi tidak ada pengejawantahan dalam praktik penilaian di kelas, maka sistem penilaian di sekolah akan selalu terjebak dengan cara-cara yang usang.
Secara sederhana, penilaian autentik ini memberi tantangan bagi guru dan siswa untuk menghubungkan dengan dunia riil. Upaya ini mengusahakan pemecahan masalah yang terdapat dalam kehidupan sehari-hari berdasarkan penerapan materi yang dipelajari siswa. Itu sebabnya, penilaian autentik menjembatani kesenjangan penilaian tradisional. Jika penilaian tradisional hanya memberikan pilihan benar-salah yang jauh dari konteks dunia riil, maka penilaian autentik menggunakan konteks dunia nyata dengan menerapkan, membuat, atau menggunakan materi yang dipelajari di kelas.
Relevansi dengan dunia riil menjadi pembeda sekaligus memperluas aktivitas siswa di ruang di kelas. Tujuan pembelajaran bukan hanya sekadar menghapal definisi, memahami, atau menjawab pertanyaan yang jawabannya seragam, melainkan mengandalkan penggunaan keterampilan berpikir tingkat tinggi dan pemecahan masalah. Kompleksitas seperti ini hanya bisa dilakukan dengan pendekatan penilaian autentik. Guru memberikan tugas dengan syarat-syarat tertentu, misalnya, dalam pelajaran analisis teks novel, siswa dapat menggunakan konteks dunia riil dengan berperan menjadi kritikus sastra. Sebelumnya, siswa terlebih dahulu dibekali pembelajaran mengenai peranti teks novel. Tugas ini bisa dikerjakan secara individual ataupun berkelompok. Apabila berkelompok, siswa dapat membuat semacam seminar sastra untuk membedah teks novel.
Aktivitas seperti itu tentu akan menjadi lebih bermakna karena siswa mencoba menyentuh persoalan yang lebih konkret. Pada titik ini, guru bukan lagi menjadi pusat pembelajaran, tetapi siswalah yang berperan aktif menggali intelektualitas, kolaborasi, dan kreativitasnya. Setidaknya, tugas berbasis autentik ini membuat cara belajar di kelas tidak monoton dan tidak terpaku pada ujian akhir saja sebagai ujung tombak dari belajar di sekolah. Kalaupun sebagian peserta lokakarya menyangsikan bahwa proses dan sistem penilaian lebih rumit karena menggunakan rubrik tersendiri, hal ini dapat disiasati karena guru tetap memegang peran penting dalam membuat skema, mulai dari perencanaan hingga penyelesaian tugas.
Pada akhirnya, apakah kita akan membuat pembelajaran siswa di kelas begitu-begitu saja? Penilaian autentik ini dapat menjadi opsi untuk melepaskan bentuk-bentuk tradisional yang perlu diperbarui agar belajar di kelas memiliki substansi yang berkorelasi dan berpijak pada konteks sehari-hari. Padahal, kehidupan di luar kelas akan sangat berbeda dan apakah siswa-siswa kita telah siap menghadapinya? Inilah yang menjadi pekerjaan rumah guru yang tidak pernah selesai.

Posting Komentar untuk "Penilaian Autentik: Melampaui Penilaian Tradisional "
Posting Komentar