Konteks
Ketika saya melintas di kawasan Cilandak, Jakarta Selatan, di salah satu dinding jalan tol terlihat coretan sebaris sajak Wiji Thukul. Sebaris sajak itu berbunyi: “Hanya satu kata: lawan!”. Coretan itu bukan coretan biasa karena dibuat sedemikian menarik dengan huruf kapital yang berwarna mencolok. Siapa pun yang melewati jalan tersebut akan tergoda membacanya. Umumnya, coretan-coretan seperti itu disebut sebagai grafiti yang kerap dijumpai di tembok-tembok jalan yang ramai dan memungkinkan dilihat banyak orang.
Larik yang diambil dari sajak Peringatan yang terkenal itu juga sering dikutip orang. Larik yang ringkas dan bernada mengancam tersebut seakan menjadi simbol perlawanan dan pengingat kekejaman rezim otoriter Orde Baru. Thukul dikenal sebagai penyair sekaligus aktivis yang menyuarakan ketidakadilan yang dialami rakyat kecil. Setelah Orde Baru tumbang, Thukul menghilang. Ia diculik. Namun, larik puisinya yang heroik itu terus hidup melewati zamannya.
Pada sekitar 1945, Chairil Anwar pernah membuat kalimat pendek untuk melengkapi gambar poster yang dibuat Affandi: “Boeng, Ajo Boeng!”. Saat itu, Affandi diberi tugas oleh Bung Karno membuat poster yang bertujuan mengobarkan semangat kemerdekaan. Sebagaimana diceritakan oleh Nasjah Jamin dalam Hari-Hari Terakhir sang Penyair, ketika Affandi sedang memikirkan kata-kata yang pas, Chairil tiba-tiba muncul dari balik pintu dan secara spontan menyerukan kalimat pendek itu. Affandi menyetujuinya. Di poster itu, terlihat gambar seorang pemuda yang berteriak lantang sambil memegang bendera merah-putih; kedua tangannya terkepal dan memutuskan rantai besi yang mengikatnya.
Frasa yang diucapkan Chairil itu ternyata dipungut dari ucapan para wanita pekerja malam di kawasan Senen untuk merayu calon pelanggan. Namun konteks pada frasa tersebut segera lenyap karena peran visualisasi membangun makna yang berbeda. Artinya, Affandi telah menempatkan frasa tersebut untuk tujuan dan konteks yang berbeda. Begitu halnya pada larik puisi Thukul itu pun ketika dibaca oleh pembaca Gen Z yang buta total pada sejarah Orde Baru dan menanggalkan tahun penciptaan puisi itu, maka tetap saja secara semantik nadanya adalah semangat “perlawanan”.
Konteks penciptaan atau titimangsa karya dibuat memang penting dan mungkin membantu untuk lebih memahami ruh ciptaan seniman. Akan tetapi, ketika suatu “karya” telah menjadi bagian dari publik ataupun tidak, maka konteks tersebut pun akan berubah mengikuti upaya tafsir, pengalaman individual, dan situasi historis masing-masing pembaca.

Posting Komentar untuk " Konteks"
Posting Komentar