Suara Ketidakadilan dari Perempuan yang Tertindas

Setiap pengarang menulis novel tidak mungkin tidak memiliki maksud utama yang mendasarinya. Meskipun pada satu pihak novelis dapat menyembunyikan tujuan utamanya kepada pembaca, ada juga novelis yang secara terang benderang mengutarakan isi kepalanya kepada pembaca: Nawal El Saadawi. Kita tahu bahwa Saadawi merupakan seorang feminis yang tak lelah memperjuangkan ketidakadilan pada perempuan. Maka tak mengherankan jika ia menulis novel Perempuan di Titik Nol.

Sebagai pembaca lelaki, novel ini seperti sebuah pukulan telak ke wajah. Betapa tidak! Dunia lelaki yang penuh dengan kebusukan, termasuk tatanan sosial patriarki yang terjadi di masyarakat, diumbar seperti sebuah pertunjukan teater realis. Kita seperti membaca sebuah biografi tokoh utama Firdaus yang mengalami penindasan mental dan jiwa. Seolah-olah lelaki di dunia ini tidak bisa dipercaya dan tidak memiliki welas asih lantaran selalu memperdaya perempuan secaa psikis dan fisik.

Perempuan di Titik Nol - Suara Ketidakadilan dari Perempuan yang Tertindas

Perempuan di Titik Nol merupakan novel yang bisa dikatakan tidak tebal. Dalam terjemahan bahasa Indonesia, novel ini berukuran kecil hanya sepanjang 150 halaman. Tapi di balik tipisnya halaman, Saadawi menyuapi pembaca dengan hidangan sup yang getir ketika hendak menelannya.

Novel ini berbentuk cerita berbingkai dan memiliki kedekatan yang erat dalam proses penciptaannya sebagaimana dijelaskan Saadawi dalam prolognya. Oleh karena itu, ketika membaca bab pertama dan ketiga, kita seperti membaca pengakuan dan kesaksian penulisnya yang menjadi narator sekunder dalam novel. Di bab kedualah, narator utama yang berkisah kepada narator sekunder.

Perjalanan kehidupan Firdaus ini secara istimewa dikisahkan dalam bab dua secara panjang lebar. Seperti catatan yang ditulis dalam buku harian, pembaca sendirilah yang menyatukan berbagai peristiwa demi peristiwa yang dialami Firdaus. Dari mulai ia tinggal bersama ayah-ibunya, paman, menikah dengan Syekh Mahmoud, hingga menjadi seorang pelacur. Perjalanan yang terjadi bukanlah tamasya yang menyenangkan, tetapi sebaliknya, justru menjadi perjalanan yang mengerikan.

Neraka

Mungkin bagi Firdaus, dunia yang ia tinggali bukanlah rumah yang membuat seseorang menjadi kerasan, melainkan seperti ruang yang memenjarakan hak asasinya sebagai perempuan. Pada awal cerita, sebagai seorang anak yang sedang bertumbuh, ia tidak mendapatkan kehidupan yang layak dan adil. Kehidupan masa kecilnya adalah jalinan-jalinan yang tidak menyenangkan karena budaya patriarki menjadi standar hidup ayah dan ibunya Firdaus.

Kehidupan masa kecilnya mengalami distraksi. Dan dunia dalam kisah Firdaus bukanlah dunia yang penuh dengan memori indah, melainkan seperti mimpi buruk yang tak berkesudahan. Semenjak kematian orang tuanya, Firdaus singgah dari satu tempat ke tempat lain. Persinggahan ini dapat diandaikan sebagai “neraka” karena membuat Firdaus berkali-kali mendapatkan pelecehan seksual dan kekerasan fisik.

Petualangan ke “neraka” dimulai dari pernikahannya dengan Syekh Mahmoud. Lelaki tersebut bukanlah lelaki ideal sebagai suami pada umumnya. Firdaus mendeskripsikan lelaki tua itu dengan nada mencemooh dan rasa jijik. Baik fisik maupun karakternya digambarkan amat buruk dan keji. Saadawi mencoba menyimbolkan lelaki ini sebagai gambaran kebusukan dan keserakahan lelaki.

Kebusukan kaum lelaki berlanjut ketika Firdaus melarikan diri dari rumah Mahmoud. Dalam perjalanan ini, ia bertemu dengan seorang lelaki bernama Bayoumi. Lelaki penjual kopi pinggiran itu menawarkan Firdaus menginap. Namun dapat kita terka bahwa Bayoumi tak kalah busuknya dari Mahmoud. Lelaki itu bahkan mengajak teman-temannya secara bergiliran memperkosa Firdaus.

Dari sini kita dapat melihat bahwa tubuh perempuan dalam novel ini hanya dijadikan sebagai “objek” pemuas hasrat seksual lelaki. Saadawi menggambarkan hasrat seksual lelaki yang bernapsu dengan “terlihat gemetar pada jemari Bayoumi…” Kalimat demikian diulang dua kali ketika paman Firdaus dan Bayoumi menatap dengan penuh nafsu kepada Firdaus.

Selain itu, kekejian lain dari kaum lelaki terlihat dari dominasi dalam hubungan sosial. Misalnya, isteri yang berasal dari golongan rendah hanya akan menjadi ibu rumah tangga yang pekerjaannya melayani suami secara berlebihan. Mereka pun harus rela dan ikhlas menerima kekerasan yang dilakukan suami. Bahkan harus menyiapkan makan malam untuk suami sekalipun ia dan anak-anaknya belum makan. Namun jika isteri berasal dari golongan tinggi, seperti terjadi pada isteri paman Firdaus yang berasal dari keluarga universitas, ia akan diperlakukan dengan hormat.

Harga diri

Kepincangan sosial ini seakan menjadi kebiasaan yang lumrah dalam sosiobudaya cerita novel. Oleh karena itu, narasi-narasi yang terdapat dalam novel ini dipenuhi oleh ketegangan-ketegangan. Ketegangan ini mencapai klimaks pada saat Firdaus membunuh seorang germo. Sebenarnya pembunuhan ini bukan karena kesengajaan, melainkan demi melindungi diri. Namun dari kejadian ini, kita melihat betapa Firdaus di akhir ketegangan novel justru ingin mempertahankan harga dirinya sebagai seorang perempuan.

Kalau kita kembali ke bab pertama novel ini, kita menyaksikan diri Firdaus yang menghadapi hari-hari akhir sebelum ia dihukum gantung. Namun hingga hari terakhirnya, ia tidak meminta pengampunan agar hukuman yang ia terima diringkankan. Sebaliknya, ia dengan gagah berani menghadapi hukuman tersebut. Sikap demikianlah yang membuat tokoh dokter yang ingin bertemu dengannya tergugah berbicara lebih banyak dengan Firdaus. Ia pun sampai bergetar jiwanya ketika berhadapan dengan sosok Firdaus.

Novel yang memiliki plot campuran ini berisi kritik pedas, atau lebih dari itu, yaitu sarkasme terhadap dunia patriarki di Mesir. Memang tampak ironis sekali bahwa keluarga tidak dapat melindungi anak perempuannya dari cara berpikir yang bias gender. Seakan-akan tidak ada tempat yang aman bagi seorang gadis berusia 19 tahun di rumah atau di luar rumah. Melalui novel ini, Saadawi ingin menyentuh rasa kemanusiaan kita dan membongkar cara pandang yang tidak adil sejak dalam pikiran.

Posting Komentar untuk "Suara Ketidakadilan dari Perempuan yang Tertindas "